Euthanasia Killing Menurut Hukum Islam

Euthanasia Killing Menurut Hukum Islam

A. Pengertian dan Sejarah Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), euthanasia adalah tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk (orang ataupun hewan piaraan) yang mengalami sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan sehingga dapat disimpulkan bahwa euthanasia adalah praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap dapat meminimalkan rasa sakit, bahkan tanpa rasa sakit sekalipun.
Hippokrates pertama kali menggunakan istilah “euthanasia” ini pada “sumpah Hippokrates” yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: “Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu”.

1. Lingkup Budaya Yunani-Romawi Kuno

Perdebatan euthanasia dalam era ini dapat dilihat dari pandangan beberapa tokoh kuno. Posidippos, seorang pujangga yang hidup sekitar tahun 300-an sebelum Masehi, menulis, “Dari apa yang diminta manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih baik daripada kematian yang baik (Fr. 18)”. Philo, seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar tahun 20 BC – 50 AD, mengatakan bahwa euthanasia adalah ‘kematian tenang dan baik’ (Philo 1, 182: de Sacrificiis Abelis et Caini 100). Suetonius, seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Masehi memberitakan kematian Kaisar Agustus sebagai berikut: “Ia mendapat kematian yang mudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia hampir selalu biasa mohon kepada dewa-dewa bagi dirinya dan bagi keluarganya ‘euthanasia’ bila mendengar bahwa seseorang dapat meninggal dengan cepat dan tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya” (Divus Augustus 99). Cicero, seorang sastrawan, hidup sekitar tahun 106 BC, memakai istilah euthanasia dalam arti ‘kematian penuh kehormatan, kemuliaan dan kelayakan’ (Surat kepada Atticus 16.7.3). Seneca, yang bunuh diri tahun 65 M malah menganjurkan, “lebih baik mati daripada sengsara merana.

 

2. Zaman Renaissance

Pada zaman renaissance, pandangan tentang euthanasia diutarakan oleh Thomas More dan Francis Bacon. Francis Bacon dalam Nova Atlantis, mengajukan gagasan euthanasia medica, yaitu bahwa dokter hendaknya memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya untuk menyembuhkan, melainkan juga untuk meringankan penderitaan menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu dimasuki gagasan euthanasia untuk membantu orang yang menderita waktu mau meninggal dunia. Thomas More dalam “the Best Form of Government and The New Island of Utopia” yang diterbitkan tahun 1516 menguraikan gagasan untuk mengakhiri kehidupan yang penuh sengsara secara bebas dengan cara berhenti makan atau dengan racun yang membiuskan.

3. Abad XVII-XX

David Hume (1711-1776) yang melawan argumentasi tradisional tentang menolak bunuh diri (Essays on the suicide and the immortality of the soul etc. ascribed to the late of David Hume, London 1785), rupanya mempengaruhi dan membuka jalan menuju gagasan euthanasia.

Tahun 20-30an abad XX dianggap penting karena mempersiapkan jalan masalah euthanasia zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl Binding (ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche (psikiater) membenarkan euthanasia sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap tak pantas hidup. Gagasan ini terdapat dalam bukunya yang berjudul : Die Freigabe der Vernichtung lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920. Dengan demikian, terbuka jalan menuju teori dan praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara mengakhiri hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo) ternyata sungguh dilaksanakan dengan sebutan Aktion T4 dengan dasar hukum Oktober 1939 yang ditandatangani Hitler.

4. Sekarang Ini

Dewasa ini, baik di negara-negara Eropa, Amerika Utara maupun Indonesia, perdebatan etis, moral, dan teologis tentang euthanasia semakin marak. Persoalan legalisasi euthanasia pun menjadi tuntutan umum, bahkan euthanasia sudah dilegalkan di Belanda dan Luxemburg. Sementara itu, praktek euthanasia sendiri pun diyakini sudah banyak dilakukan, juga di Indonesia, meskipun secara legal hal itu dilarang.


B. Jenis-jenis Euthanasia
Sebelum kita meninjau persoalan medis, etis, dan teologis, kita perlu mengerti dulu berbagai macam euthanasia. Ada berbagai jenis euthanasia.

1. Dari Sudut Cara/Bentuk

Dari sudut cara atau bentuk, euthanasia dapat dibedakan dalam tiga hal :

a.    Euthanasia aktif, artinya mengambil keputusan untuk melaksanakan dengan tujuan menghentikan kehidupan. Tindakan ini secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, melakukan injeksi dengan obat tertentu agar pasien terminal meninggal.

b.    Euthanasia pasif, artinya memutuskan untuk tidak mengambil tindakan atau tidak melakukan terapi. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup kepada pasien. Misalnya, terapi dihentikan atau tidak dilanjutkan karena tidak ada biaya, tidak ada alat ataupun terapi tidak berguna lagi. Pokoknya menghentikan terapi yang telah dimulai dan sedang berlangsung.

c.     Auto-euthanasia, artinya seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.

 

2. Dari Sudut Maksud (Voluntarium)

Dari sudut maksud, euthanasia dapat dibedakan:

a.    Euthanasia langsung (direct), artinya tujuan tindakan diarahkan langsung pada kematian.

b.    Euthanasia tidak langsung (indirect), artinya tujuan tindakan tidak langsung untuk kematian tetapi untuk maksud lain misalnya meringankan penderitaan.

 

3. Dari Sudut Otonomi Penderita

Dari sudut otonomi penderita euthanasia dapat dilihat dalam tiga jenis:

a.    Penderita sadar dan dapat menyatakan kehendak atau tak sadar dan tidak dapat menyatakan kehendak (incompetent).

b.    Penderita tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan diwakili oleh orang lain (transmitted judgement).

c.     Penderita tidak sadar tetapi kehendaknya diduga oleh orang lain (substituted judgement).

 

4. Dari Sudut Motif dan Prakarsa

Dari sudut motif dan prakarsa, euthanasia dibedakan menjadi dua:

a.    Prakarsa dari penderita sendiri, artinya penderita sendiri yang meminta agar hidupnya dihentikan entah karena penyakit yang tak tersembuhkan atau karena sebab lain.

b.    Prakarsa dari pihak luar; artinya orang lain yang meminta agar seorang pasien dihentikan kehidupannya karena berbagai sebab. Pihak lain itu misalnya keluarganya dengan motivasi untuk menghentikan beban atau belas kasih. Bisa juga, prakarsa itu datang dari pemerintah karena ideologi tertentu atau kepentingan yang lain.

 

 

C. Beberapa Aspek Euthanasia

1. Aspek Hukum

Undang undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasalpasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana. Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain 338, 340, 344, 345, dan 359. Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain pasal 1313, 1314, 1315, dan 1319 KUH Perdata. Secara formal tindakan euthanasia di Indonesia belum memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan terjadinya penuntutan hukum terhadap euthanasia yang dilakukan. 

2. Aspek Hak Asasi

Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat. 

3. Aspek Ilmu Pengetahuan

Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan siasia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.

4. Aspek Agama

Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorang pun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ahliahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat, dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis pun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam halhal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Halhal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.

D. Euthanasia Menurut Hukum Islam.

Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri.


Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, “Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, “Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri,” (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah “Janganlah kamu saling berbunuhan.” Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.


Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga .


1. Dalam Pandangan Syariah Islam Secara Detail

Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia.

a. EuthanasiaAktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :


]وَلاَتَقْتُلُواالنَّفْسَالَّتِيحَرَّمَاللهُإِلاَّبِالْحَقِّ[
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
]وَلاَتَقْتُلُواأَنْفُسَكُمْإِنَّاللهَكَانَبِكُمْرَحِيمًا[
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).


Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Karena itu, apapun alasannya (termasuk faktor kasihan kepada penderita), tindakan euthanasia aktif tersebut jelas tidak dapat diterima. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lain yang tidak diketahui dan terjangkau oleh manusia, yaitu pengampunan dosa.


Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)


Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).


b. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien.
Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180)


Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah).


Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)


Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.


Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)


Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum,1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yang telah kritis keadaannya? Jawabannya adalah boleh jika memang tidak tersembuhkan lagi secara kedokteran.


c. Dasar Kebolehan

Di antara yang mendasari kebolehan melakukan euthanasia pasif, yaitu tindakan mendiamkan saja si pasien dan tidak mengobati, adalah salah satu pendapat di kalangan sebagain ulama. Yaitu bahwa hukum mengobati atau berobat dari penyakit tidak sepenuhnya wajib. Bahkan pendapat ini cukup banyak dipegang oleh imam-imam mazhab.


Menurut sebagian mereka, hukum mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Tetapi bukan berarti semua ulama sepakat mengatakan bahwa hukum berobat itu mubah. Dalam hal ini sebagian dari para ulama itu tetap mewajibkannya. Misalnya apa yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bin Hambal, juga sebagaimana yang dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka itu tetap beranggapan bahwa berobat dan mengupayakan kesembuhan merupakan tindakan yang mustahab (sunnah).


d. Perbedaan Pendapat
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Bersabar di sini berarti tidak berobat.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi.


Di samping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi`in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka`ab dan Abu Dzar radhiyallahu`anhuma.


Dan tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam `Kitab at-Tawakkul` dari Ihya` Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.


Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar di antara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi –lebih sedikit dari golongan kedua– berpendapat wajib.
Dalam hal ini kami sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta`ala.
Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma`ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.


Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib, apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya –yaitu para dokter– maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.


Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan –dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern– dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin ke balikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.


Maka memudahkan proses kematian –kalau boleh diistilahkan demikian– di mana dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi, maka tindakan pasif ini adalah bolehdan dibenarkan syariat. Terutama bila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.


Semua itu dengan pertimbagan bahwa membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut.


Disisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya. Wallahu a’lam.

 E. Cara-cara Euthanasia

Tindakan euthanasia dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni:

a.       Langsung dan sukarela: memberi jalan kematian dengan cara yang dipilih pasien. Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri.

b.      Sukarela tetapi tidak langsung: pasien diberitahu bahwa harapan untuk hidup kecil sekali sehingga pasien ini berusaha agar ada orang lain yang dapat mengakhiri penderitaan dan hidupnya.

c.       Langsung tetapi tidak sukarela: dilakukan tanpa sepengetahuan pasien, misalnya dengan memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat.

d.      Tidak langsung dan tidak sukarela: merupakan tindakan euthanasia pasif yang dianggap paling mendekati moral.

 

F. Hukum Euthanasia di Beberapa Negara

Beberapa negara sudah mengatur hukum euthanasia secara tegas. Beberapa contoh yang dapat disebutkan antara lain:

  a.Belanda.

    Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Dalam karangan berjudul “The Slippery Slope of Dutch Euthanasia” dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.

 b.Australia.

   Negara bagian Australia, Northern Territory, mengizinkan euthanasia dan bunuh diri dengan bantuan orang lain meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut “Right of the terminally ill bill” (UU tentang Hak Pasien Terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia sehingga harus ditarik kembali. Di negara bagian yang lain, euthanasia adalah tindakan ilegal dan melawan hukum.

 c.Belgia.

   Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan euthanasia pada akhir September 2002. Para pendukung euthanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan euthanasia telah dilakukan setiap tahun sejak legalisasi tersebut. Namun mereka masih mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan euthanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan “birokrasi kematian”.

 d.Amerika.

   Euthanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon. UU euthanasia ditetapkan pada tahun 1997 tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri dengan bantuan syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat: usia minimal 18 tahun, kemungkinan hidup tinggal 6 bulan, harus mengajukan secara tertulis sebanyak 3 kali dan 2 kali secara lisan dengan saksi. Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam gangguan mental. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Polling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya euthanasia.

  e.Kanada.

    Secara tegas Kanada menolak euthanasia. Euthanasia adalah tindakan ilegal dan melawan hukum.

   f.Kolumbia.

      Secara hukum, Kolumbia masih ambigu dalam menetapkan peraturan yang jelas. Pada tahun 1997, euthanasia diterima oleh mahkamah konstitusional tetapi belum pernah diratifikasi oleh kongres/parlemen.

 g.Indonesia.

   Berdasarkan hukum di Indonesia, euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, melawan Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana: ”Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”, dan pasal 345, ““Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”

 h.Swiss.

    Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri.

 i.Luxemburg.

   Baru-baru ini, Luxemburg menjadi negara selanjutnya yang menyetujui tindakan  euthanasia. Ketetapan ini baru diberlakukan 19 Februari 2008 yang lalu. Parlemen telah menyetujui UU yang mengatur euthanasia ini

 j.Inggris.

   Di Inggris, masih merupakan suatu tindakan melawan hukum. Kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang euthanasia dalam bentuk apa pun.

 k.Jepang.

    Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang euthanasia. Demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur mengenai euthanasia tersebut. Ada 2 kasus euthanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai “euthanasia pasif” (消極的安楽死, shōkyokuteki anrakushi). Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai University pada tahun 1995 yang dikategorikan sebagai “euthanasia aktif ” (積極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi).

  l.Republik Ceko.

      Di Republik Ceko euthanasia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai euthanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan euthanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut.

  m.India.

      Di India euthanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan euthanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus euthanasia sukarela di mana si pasien sendirilah yang menginginkan kematian di mana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan euthanasia tersebut (bantuan euthanasia). Pada kasus euthanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun euthanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC.

n.China.

   Di China, euthanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Euthanasia diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, di mana seorang yang bernama “Wang Mingcheng” meminta seorang dokter untuk melakukan euthanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkap juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People’s Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya euthanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.

 

 

G. Masalah Euthanasia

Persoalan euthanasia bukanlah persoalan yang berdiri sendiri. Ada banyak soal di balik euthanasia yang amat mempengaruhi pilihan dan tidakan untuk melakukan atau tidak melakukan euthanasia. Masalah-masalah tersebut adalah:  

1. Kekaburan Batas Antara Kematian – Kehidupan serta Kemajuan Iptek Kedokteran

Dalam perjalanan sejarah, ada banyak perubahan untuk menentukan apakah seorang dapat dinyatakan mati atau tidak. Definisi kematian tetap sama yaitu berhentinya secara irreversible seluruh fungsi pengaturan manusia sebagai organisme secara keseluruhan baik mental maupun fisik. Namun kriteria kematian seseorang sendiri berubah seturut perkembangan ilmu pengetahuan dan kedokteran. Jaman modern mencatat bahwa kriteria kematian telah berubah dari cardiac-respiratory (berhentinya denyut jantung dan pernafasan) menjadi kriteria neurologis yaitu kematian seluruh otak yakni batang otak dan otak besar. Dalam perkembangan sejarah, kapan orang dikatakan mati merupakan masalah serius dan menimbulkan banyak perdebatan. Pada abad XVIII kekhawatiran akan nasib orang mati suri yang terlanjur dikubur dipecahkan dengan memasang sistem pembebasan dari peti mati, misalnya: tali untuk membunyikan bel. Atau orang yang baru mati dijaga kalau-kalau memberi tanda-tanda kehidupan.

Munculnya aneka macam alat kedokteran seperti stetoskop (abad XIX) membantu para dokter untuk mendengarkan denyut jantung dengan lebih jelas sehingga lebih bisa memastikan apakah seseorang sudah mati atau belum. Pada abad XX ditemukan Electrocardiogram (ECG) yang merupakan sarana teknis yang lebih cermat untuk memeriksa kegiatan jantung. Sekarang ada alat yang lebih canggih lagi, Electroencefalogram (EEG) sehingga dokter dapat memantau kegiatan elektris dalam otak, misalnya interaksi antara fungsi-fungsi otak, jantung dan paru-paru.

Permasalahan kekaburan kematian manusia tidak hanya berhenti pada cara penentuan kematian seseorang melainkan juga semakin dikaburkan dengan kemajuan teknologi kedokteran. Beberapa fungsi vital organ manusia dapat didukung oleh teknologi baru, sehingga orang yang secara klinis mati dapat “dihidupkan kembali” dengan sarana-sarana artifisial. Kesepakatan mengenai kematian seseorang akan menentukan sikap dan tindakan yang sama.

Di satu sisi, kemajuan teknologi kedokteran disambut dengan gembira, tapi di sisi lain menimbulkan kekuatiran dan ketakutan baru. Kemajuan itu adalah berkat bagi manusia untuk memulihkan kesehatan sekaligus kutuk karena usaha melanjutkan kehidupan berarti juga memperpanjang penderitaan dan ketidakpastian. 

2. Kewajiban Memelihara hidup

Permasalahan euthanasia berkait erat dengan kewajiban memelihara hidup. Misalnya saja sumpah Hipokrates mengandung dua gagasan yaitu: kesediaan menolong penderita dan menolak membantu orang untuk bunuh diri. Dua gagasan sumpah ini dimasukkan ke dalam aneka kode etik kedokteran dewasa ini. Sumpah ini membantu para tenaga medis untuk menghadapi situasi dan masalah baru karena kemungkinan “penundaan” saat kematian yang bahkan menjadi kabur dengan teknologi canggih.  

3. Otonomi Penderita

Euthanasia juga berhadapan dengan gagasan tentang otonomi manusia (penderita). Keyakinan akan martabat pribadi manusia sebagai subjek pengemban hak asasi makin meningkat, justru dalam berhadapan dengan kemungkinan-kemungkinan baru yang disediakan ilmu dan teknologi kedokteran canggih. Berkaitan dengan otonomi manusia setidaknya menyangkut dua hal yaitu: hak atas privacy dan hak untuk menolak penanganan serta hak untuk mati.

Di sini ada pergeseran arti. Semula hak untuk mati berarti hak asasi untuk menolak penanganan (basic right to refuse treatment). Namun dewasa ini hak untuk mati berarti hak untuk menolak penanganan yang menyelamatkan hidup (the right to refuse life-saving treatment). Gagasan ini timbul sehubungan dengan penolakan transfusi darah karena alasan keagamaan oleh penganut sekte Saksi Yehovah, meskipun transfusi darah termasuk sarana biasa atau proporsional dalam moral tradisional. Hak untuk menolak penanganan yang memperpanjang proses meninggal (the right to refuse death-prolonging treatment) juga berarti hak agar penanganan demikian itu dihentikan atas permintaan penderita atau keluarganya.

Hak untuk mati tumbuh dari gabungan antara hak untuk menolak penanganan yang menyelamatkan hidup berdasarkan kebebasan agama dan hak untuk menolak penanganan yang menunda kematian seseorang berdasarkan hak privacy. Perkembangan menjadi hak untuk mati dapat dipahami sejauh dalam konteks konkret menolak life-saving treatment dan menolak death-prolonging treatment atau life-support system berarti kematian.

 

H. Pro dan Kontra Euthanasia

Masalah euthanasia menimbulkan pro dan kontra. Ada sebagian orang yang menyetujui euthanasia ini. Sebagian pihak lain menolaknya. Dalam hal ini tampak adanya batasan karena adanya sesuatu yang mutlak berasal dari Tuhan dan batasan karena adanya hak asasi manusia. Pembicaraan mengenai euthanasia tidak akan memperoleh suatu kesatuan pendapat etis sepanjang masa. Secara sederhana, perdebatan euthanasia dapat diringkas sbb: atas nama perhormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna. Apakah pengakhiran hidup macam itu bisa dibenarkan? 

1. Pro Euthanasia

Kelompok ini menyatakan bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan persetujuan, dengan tujuan utama menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang menjadi pedoman kelompk ini adalah pendapat bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Jadi, tujuan utamanya adalah meringankan penderitaan pasien. Argumen yang paling sering digunakan adalah argumen atas dasar belas kasihan terhadap mereka yang menderita sakit berat dan secara medis tidak mempunyai harapan untuk pulih. Argumen pokok mereka adalah pemahaman bahwa kematian menjadi jalan yang dipilih demi menghindari rasa sakit yang luar biasa dan penderitaan tanpa harapan si pasien. Argumen kedua adalah perasaan hormat atau agung terhadap manusia yang ada hubungannya dengan suatu pilihan yang bebas sebagai hak asasi. Setiap orang memiliki hak asasi. Di dalamnya termasuk hak untuk hidup maupun hak untuk mati.

2. Kontra Euthanasia

Setiap orang menerima prinsip nilai hidup manusia. Orang-orang tidak beragama pun, yang tidak menerima argumen teologis mengenai kesucian hidup, setuju bahwa hidup manusia itu sangat berharga dan harus dilindungi. Mereka setuju bahwa membunuh orang adalah tindakan yang salah. Bagi mereka, euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung. Bagi orang beragama, euthanasia merupakan tindakan immoral dan bertentangan dengan kehendak Tuhan. Mereka berpendapat bahwa hidup adalah semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri sehingga tidak ada seorang pun atau institusi manapun yang berhak mencabutnya, bagaimanapun keadaan penderita tersebut. Dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak memiliki hak untuk mati.

Penolakan euthanasia ini berkaitan erat dengan penolakan abortus atas dasar argumen “kesucian hidup”. Karena kehidupan itu sendiri berharga, maka hidup manusia tidak pernah boleh diakhiri dalam keadaan apa pun juga. Banyak orang menolak euthanasia langsung atau aktif karena takut akan “menginjak lereng licin” (the slippery slope). Jika kita boleh membunuh orang yang sedang dalam proses meninggal dunia atau pasien koma yang irreversible maka bisa jadi kita akan memperluas pengertian dan mulai membunuh bayi yang baru lahir, mereka yang sakit jiwa, anak cacat mental, orang yang tidak produktif atau secara sosial tidak diinginkan. Begitu batas-batas untuk membunuh diperluas, tidak ada lagi orang yang aman.

Argumen yang lain adalah argumen berdasarkan ihwal mengasihi diri sendiri. Ihwal mengasihi diri sendiri secara bertanggung jawab melarang euthanasia. “Memberikan kehidupan sebagai hadiah dan korban bagi kehidupan orang lain dapat dibenarkan, sementara menyebabkan kematian secara langsung karena kesulitan pribadi tidak dibenarkan”. Dasar bagi larangan tersebut adalah panggilan Allah atas manusia agar mewujudkan potensi dirinya dan mencapai kepenuhan diri. Manusia juga harus terbuka terhadap horizon makna ini, juga dalam situasi kemalangan, sakit, penderitaan, yang dapat mendorongnya untuk melakukan bunuh diri, karena kehidupan fisik manusia selalu ditopang dan dilindungi Allah yang menjamin makna hidup.

 

 

 

I. Tinjauan Kedokteran

Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti, yaitu:

a.       Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.

b.      Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan obat penenang.

c.       Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

Dari pengertian pengertian di atas maka euthanasia mengandung unsurunsur sebagai berikut:

a.       Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

b.      Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.

c.       Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.

d.      Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.

e.       Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.

Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, “Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya.” Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri yang membuatnya.

Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu.

Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis.

 

J. Tinjauan Filosofis-Etis

Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan pandangan otonomi dan kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai dirinya sendiri secara penuh sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan mati (hak untuk mati). Perdebatan mengenai euthanasia dapat diringkas sebagai berikut: atas nama penghormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna. Pertanyaannya adalah apakah pengakhiran hidup seperti itu dapat dibenarkan?

Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide. Salah satu argumentasinya menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita mengizinkan pengecualian atas larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain yang dianggap tidak berguna lagi. Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu kita harus menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan sebagai “kesucian kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati.

Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada secara intrinsik (ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan berakhirnya manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari pengakuan orang, artinya ia ada entah diakui atau tidak oleh orang lain. Masing-masing orang harus mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh karena itu masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu, manusia tidak pernah boleh dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan tertentu oleh orang lain.

Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan “kematian yang baik”, tanpa penderitaan yang tidak perlu. 

K.PENUTUP

Euthanasia merupakan suatu hal yang menyimpang dari moral kemanusiaan. Hal ini karena menyangkut terhadap hak hidup atau nyawa seseorang. Meskipun dalam kode etik kedokteran euthanasia itu sendiri merupakan sebuah pelanggaran yang fatal, namun kode etik tidak bisa menjamin akan tidak terlaksananya sebuah tindakan euthanasia. Apalagi dibeberapa Negara telah melegalkan euthanasia dengan syarat-syarat yang telah di tentukan.
Islam sebagai agama rahmatal lil alamin memiliki pandangan tersendiri akan hal ini. Dari sudut pandang hukum Islam, diputuskan bahwa euthanasia aktif atau positif adalah haram hukumnya. Sedangkan hukum euthanasia pasif masih menjadi perdebatan, antara boleh dan tidak boleh. Tetapi berdasarkan beberapa litelatur yang telah dikaji, penulis menemukan sebuah benang merah yang bisa ditarik yaitu hukum kondisional, artinya euthanasia pasif (menghentikan pengobatan) pada orang yang secara medis tidak tertolong lagi maka boleh hukumnya, mengingat penyakit yang diderita dan beban yang ditanggung dirinya dan keluarga. Sedangkan pada orang yang secara medis masih bisa diselamatkan, maka wajib diteruskan pengobatan. Wallahu a’lam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

REFERENSI

     Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam: Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.
Anwar, Syamsul. 2007. Studi Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: RM Books 

      Bertens, K., Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta: Kanisius,    2001.

     Bertens, K., Sketsa-sketsa Moral: 50 Esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta: Kanisius, 1994.

     James Rachels, “Euthanasia”, dalam Tom Regan (ed.), Matters of Life and Death: New Introductory Essays in moral Philosophy, New York: Random House, 1980.

     Samil, Ratna Suprapti, Etika Kedokteran Indonesia, Jakarta:Fakultas  KedokteranUniversitas Indonesia, 1994.  

    Shannon, Thomas A., Pengantar Bioetika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.

 

     http://www.euthanasia.com/
http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia
http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatu- tinjauanbioetika/

 

 

 

 

Categories: Uncategorized | Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.